:: Doa Yang Tak Masuk Akal ::

Kultum Author: bahtiarhs


Bermohon di waktu haji Jika Anda berada di sebuah padang gersang, kering kerontang, tidak nampak tumbuh tanaman apapun, sepi tak ada orang sama sekali, gung liwang liwung-doh lor doh kidul kata orang Jawa (sudah sunyi senyap, jauh dari mana-mana lagi), panas membara ketika siang hari, gelap dan dingin menggigit di malam hari, maka apa yang akan Anda lakukan? Jika Anda membawa isteri dan bayi Anda yang masih merah di atas punggung unta, lalu disuruh meninggalkan mereka di tempat yang seperti itu, sendirian, kira-kira apa yang akan Anda lakukan? Sikap apa yang bakal Anda ambil?



Mungkin sebagian besar kita tak akan rela meninggalkan anak dan isteri kita, orang-orang yang kita sayangi, di tempat yang nyaris “tak ada harapan hidup” seperti itu. Meninggalkan mereka di padang gersang nan tandus itu hanya akan mempercepat mengirim mereka ke alam baka.

Tetapi tidak demikian halnya dengan Nabi Ibrahim as.

Suatu ketika Allah swt. memerintahkan beliau membawa Hajar, isterinya, dan Ismail as., anaknya yang masih menyusu, ke arah selatan dari negeri Kan’aan (Palestina) hingga mereka tiba di sebuah tempat bernama Baka atau Bakkah. Dalam lidah Arab kemudian menjadi Makkah. Bakkah berarti “berderai air mata” (ada yang menyebut “lembah air mata”) atau “pohon balsam”. Arti yang pertama sangat boleh jadi karena daerahnya yang gersang dan tandus sehingga menjadikannya tempat yang seolah tidak memberikan harapan hidup sama sekali kepada manusia. Sedangkan arti kedua menunjukkan bahwa memang di daerah tersebut banyak tumbuh pohon balsam (genus Commiphora). Dalam bahasa Al-Qur’an tempat ini disebut “bi waadin ghairi dzi zar’in”, sebuah lembah yang tidak memiliki tanam-tanaman. Itu sama artinya kita tak bisa menemukan air di tempat itu. Bagaimana mungkin manusia bisa hidup di tempat seperti ini?

Tetapi begitulah Hajar dan Ismail ditinggalkan. Hanya berbekal sebuah gerba (kantong kulit) berisi kurma dan sebuah kantong lagi berisi air. Dalam shahih Bukhari diceritakan melalui riwayat Ibnu Abbas ra., bahwa ketika Ibrahim as. lalu meninggalkan mereka berdua, Ibu Ismail (Hajar) mengikutinya dan bertanya, “Wahai Ibrahim, ke manakah engkau hendak pergi? Dan engkau tinggalkan kami di lembah yang tidak ada orang dan bahkan tidak apa-apa ini?”

la berkata kepadanya demikian ini berulangkali, sedang Nabi Ibrahim as. tidak menoleh kepadanya. Lalu Hajar (akhirnya) berkata kepadanya, “Apakah Allah memerintahkan engkau demikian ini?”

Ibrahim menjawab, “Ya.”

“Jika demikian,” kata Hajar, “Dia tidak (akan) menyia-nyiakan kami.”

Kemudian Hajar kembali (ke tempat semula), dan Ibrahim berangkat. Ketika beliau tiba di Tsaniyah sekira keduanya sudah tidak melihatnya, Ibrahim as. menghadapkan muka ke arah Baitullah seraya berdoa dan mengangkat kedua tangan, dengan ucapannya,

“Ya Allah, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman, di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Wahai Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37).

Perhatikan doa Nabi Ibrahim as. ini. Beliau berdoa dengan tuntutan keyakinan yang penuh bulat-bulat kepada Allah swt. Bagaimana mungkin bermohon agar hati sebagian manusia cenderung kepada Hajar dan Ismail di tempat itu, sedangkan kehidupan saja nyaris tidak ada? Bagaimana mungkin manusia tertarik tinggal di tempat ini kecuali hanya mencari mati saja? Dan bagaimana mungkin mengharapkan rezeki berupa buah-buahan, sementara air untuk hidupnya tanam-tanaman saja sukar didapat; kalau tak boleh dikatakan tak ada?

Inilah sebuah doa yang tak masuk akal, akan tetapi dipanjatkan dengan sepenuh keyakinan oleh seorang hamba. Yakin bahwa di padang gersang tak nampak kehidupan itu masih ada yang Maha hidup; yang Maha Mengatur segalanya. Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang mampu mengubah sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin, yang mustahil menjadi kenyataan. Kun-fayakun.

Dan doa Ibrahim as. ribuan tahun itu sungguh terbukti. Tiga belas tahun kemudian, ketika Ismail telah beranjak dewasa, Bakkah atau Makkah telah menjelma menjadi sebuah tempat yang ramai dikunjungi, bahkan ditempati orang. Sumur Zamzam telah menjadi magnet bagi “hati sebagian manusia untuk cenderung kepada mereka” sehingga mereka menetap di tempat “berderai air mata” itu. Dan kini, katanya — karena saya belum pernah ke sana — Makkah adalah tempat yang meski bukan penghasil buah-buahan, tetapi koleksi buah-buahan yang ada di sana merupakan yang terlengkap di seluruh dunia sepanjang musim. Ini merupakan berkah “doa tak masuk akal” Nabi Ibrahim as. agar Allah “merezekikan mereka dengan buah-buahan” meski tinggal di sebuah tempat yang hanya pohon Balsam saja yang mungkin bisa tumbuh.

Doa “tak masuk akal” — menurut akal kita — yang dilantunkan Nabi Ibrahim as. di atas hendaknya bisa kita jadikan teladan, betapa jika kita berlaku hanifan musliman (lurus dan total berserah diri hanya kepada Allah swt.) seperti Nabi Ibrahim as. (QS. Ali Imran: 167), maka harusnya tidak ada lagi rasa pesimis menghadapi hidup. Karena betapapun tidak masuk akalnya situasi yang mungkin kita hadapi dalam hidup, masih ada Allah, Yang Maha Hidup, tempat kita bergantung dan bermohon. Betapapun gersang nan tandus situasi yang kita hadapi, bahkan hingga harapan hidup itu digambarkan penuh “derai air mata”, tetapi masih ada Allah ‘azza wajalla yang tidak pernah tidur dan tidak pernah mati, yang akan mendengar dan mengabulkan doa-doa kita. Betapapun tidak masuk akalnya doa yang kita panjatkan.

Saya pernah mencoba berdoa yang “tak masuk akal” itu. Saya minta pada anak-anak saya, “Doakan Ayah bisa mendapatkan rezeki 100 juta rupiah hari ini, ya, sayang?” Mereka menjawab “ya” dan mengucap “Amin”. Meski kemudian hari itu saya tak mendapatkan rezeki bahkan sepeserpun (bagaimana mau 100 juta, sedang dapat sejuta saja masih sulit membayangkan), tetapi saya meyakini bahwa doa yang bagi saya mungkin tak masuk akal itu di sisi Allah sangatlah mudah direalisasikan. Kiranya doa-doa yang tak masuk akal semacam ini perlu dirutinkan. Selain sebagai motivasi, juga siapa tahu Allah swt. merasa kasihan pada kita karena begitu seringnya melantunkan doa itu sehingga Ia berkenan mengabulkannya sesekali. Bukankah Allah pasti akan mengabulkan setiap doa kita, setidaknya di akhirat. Tetapi siapa tahu Dia akan mengabulkan doa kita “yang tak masuk akal itu” di dunia?

Apakah Anda, saat ini, sedang menghadapi sebuah padang gersang nan tandus itu? Saya sarankan, lantunkan doa yang “tak masuk akal” itu, tetapi masuk akal di sisi Allah swt. Ber-husnuzh-zhon-lah bahwa Dia akan mengabulkannya. Kalau Allah sudah bicara Kun! maka pastilah Fayakun. Tinggal kita percaya apa tidak; kita hanifan musliman seperti Ibrahim as. apa tidak..?

Wallahu a’lam.



0 Comments:

Post a Comment



 

blogger templates | Make Money Online